Fenomena self-diagnose terhadap kesehatan mental menjadi salah satu isu yang ramai diperbincangkan di tengah kalangan generasi muda. Self-diagnose adalah proses diagnosis terhadap diri sendiri untuk mengetahui apakah dirinya mengidap suatu gangguan/penyakit atau tidak berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri.

Judul ini berangkat dari para generasi muda melek digital yang mudah merasa gelisah akan kepribadiannya. Hal ini seringkali membuat mereka mencoba melakukan self-diagnose secara mandiri dengan hanya bermodalkan media sosial yang telah menjadi bagian dari generasi saat ini. Terkadang postingan mengenai hal-hal psikologi seperti itu sendiri lewat melalui beranda media sosial dalam waktu yang tepat. Sehingga banyak orang akan mulai menduga dan mendiagnosis keadaan dirinya karena mulai merasa bahwa ciri-ciri yang diberikan cocok dengan keadaannya. Namun, self-diagnose cenderung menjadi salah pemahaman dan penanganan apabila generasi muda tergesa-gesa dalam mengambil keputusan diagnosis. Zaman sekarang juga banyak informasi kesehatan yang tidak valid beredar di internet.

Generasi muda merupakan harapan dan kekuatan bagi sebuah bangsa. Dalam sejarah, banyak perubahan sosial dan politik yang dipelopori oleh generasi muda. Namun, dalam era modern ini, tantangan yang dihadapi oleh para anak muda adalah krisis indentitas atau kebingungan mencari jati diri. Bukan hanya memengaruhi diri mereka sendiri, melainkan juga memengaruhi masa depan generasi bangsa karena para anak muda merupakan tulang punggung utama bagi bangsa indonesia. Sebagaimana Ir. Soekarno pernah mengatakan dalam pidatonya, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Secara garis besar, menekankan pentingnya peran pemuda dalam membawa perubahan. Meskipun negara kita sudah merdeka dan bebas dari penjajahan namun semangat dan inovasi pemuda lah yang akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan besar.

Mengutip dari ukesma.ukm.ugm.ac.id, ada beberapa alasan mereka melakukan self-diagnose secara mandiri, yaitu keterbatasan biaya, waktu, akses layanan, kondisi generasi muda yang belum siap berobat, atau juga ketidaktahuan adanya tenaga medis yang menangani hal terkait. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan banyak dari generasi muda yang salah dalam self-diagnose karena tidak memastikan lebih lanjut kepada para ahli mengenai kesehatan mental tersebut.

Dampak buruk yang muncul ketika para pemuda tersebut salah dalam mendiagnosa diri mereka sendiri jika dihubungkan dengan unsur yang ada pada Sumpah Pemuda, yaitu:

1. Penurunan semangat belajar

Kurangnya interaksi sosial karena waktu mereka terbuang sia-sia hanya untuk mencari informasi terkait kegelisahan yang mereka alami yang seharusnya waktu mereka bisa digunakan untuk mencari bakat dan minat dan secara tidak langsung melemahkan nilai-nilai yang terkandung dalam sumpah pemuda.

2. Hilangnya semangat juang

Semangat juang adalah salah satu unsur penting dalam sumpah pemuda. Remaja yang terjebak dalam self-diagnose seringkali kehilangan motivasi akademisnya, seperti tidak adanya harapan atau jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. 

3. Mengurangi rasa solidaritas antar Masyarakat

Anak muda yang salah memahami diri cenderung mengalami kebingungan identitas, yang dapat mengarah pada ketidakpastian dalam tujuan hidup dan nilai-nilai. Hal ini menghambat mereka untuk berkontribusi pada semangat persatuan yang diusung oleh Sumpah Pemuda, karena mereka mungkin tidak merasa terhubung dengan komunitas atau bangsa. Ketidakpastian ini dapat mengurangi rasa solidaritas dan tanggung jawab sosial, yang penting untuk membangun kesatuan dalam masyarakat.

Lalu bagaimana dengan anak yang sudah terdampak peristiwa self-diagnose yang salah? Pemuda yang terlanjur salah diagnosis dan terpaku pada “label” tertentu, akan memiliki perilaku yang berbeda karena stress berlebihan, melampiaskan stress dengan marah-marah, mabuk-mabukan, ataupun bisa dengan makan berlebihan. Atau pemuda bisa saja akan mengambil keputusan untuk mengobati dirinya sendiri dengan mencoba obat bebas di apotek, atau pengobatan alternatif. Namun, ada solusi yang lebih tepat untuk mengembalikan kesehatan mental apabila hal ini terjadi, yaitu dengan pihak terdekat dari pemuda yang terdampak self-diagnose harus segera mengonsultasikan kepada dokter atau psikiater yang lebih paham. Dengan berkonsultasi ke dokter, pasien akan mendapat penanganan diagnosis serta pendampingan yang tepat.

Namun, ada peribahasa mengatakan bahwa “Mencegah lebih baik daripada mengobati” dari kutipan itu kita mengetahui bahwa lebih baik mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari masalah. Maka dari itu, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah self-diagnosis yang salah antara lain:

1. Hindari mencari tahu hanya bermodalkan internet

 Pada kebanyakan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada hal-hal baru, di era sekarang ini teknologi komunikasi dan informasi semakin canggih memudahkan akses untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya hanya bermodalkan smartphone dan jejaring sosial, namun terkadang informasi yang berseliweran di internet tidak selalu akurat atau relevan dengan kondisi kita. Dalam kasus ini, ada baiknya jika memilih konten kesehatan mental yang memang dibuat oleh ahlinya, seperti psikolog, psikiater atau lembaga resmi yang menangani kondisi kejiwaan atau kesehatan mental seseorang.

2. Tidak menjadikan selebritas/tokoh fiktif penderita gangguan mental sebagai rujukan

Seringkali kita melihat selebritas ataupun tokoh fiktif menceritakan kesehatan mentalnya lewat media sosial. Di saat kita mendengar begitu banyak kesamaan dari gejala hingga pengalamannya dengan selebritas/tokoh fiktif tersebut, kita dengan mudah menyimpulkan bahwa kita juga mengalami kondisi kejiwaan yang mirip pula. Meskipun begitu, alangkah baiknya kita memeriksakan lebih lanjut ke ahli psikiater dikarenakan kondisi mental setiap orang tentu berbeda dan lebih kompleks.

3. Hindari melakukan tes online terkait kesehatan mental

Memeriksakan diri dengan cara mengetes kesehatan mental kita secara online diperbolehkan akan tetapi apabila hasil tersebut dijadikan dasar diagnosis itu yang tidak boleh. Karena tes tersebut hanya berdasarkan gejala umum, bukan gejala yang lebih spesifik.

4. Tidak menganggap serius perkataan teman yang mendiagnosis kita terkena suatu gangguan mental tertentu

Ketika kita berperilaku aneh atau tidak biasa, apalagi bila dilakukan secara berulang ulang tak jarang orang sekitar akan menduga-duga dengan perilaku gangguan mental tertentu. Namun jangan anggap serius perkataan tersebut karena belum tentu apa yang mereka katakan itu betul-betul akurat, Sebaiknya kita langsung berkonsultasi dengan para ahli.

5. Jika dirasa adanya hal yang tidak benar, sebaiknya periksakan diri kepada pihak yang lebih paham

Apabila merasa adanya gejala yang mungkin memicu gangguan pada kesehatan mental, segera menjumpai dokter, psikiater atau ahli dalam bidang tersebut. Agar bisa segera mengetahui penanganan dan jalan keluar dari masalah tersebut. Tidak perlu malu atau minder, kesehatan diri lebih penting dari apapun.

Dengan demikian sebagai generasi penerus bangsa, semangat juang Sumpah Pemuda harus tetap tertanam dalam diri pemuda Indonesia sebagaimana para pemuda dulu yang memiliki semangat juang yang berkobar. Kita juga perlu terbuka mengenai kegelisahan pemuda yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Dari self-diagnosis yang salah akan memiliki dampak negatif bagi masa depan bangsa. Daripada melakukan self-diagnosis, seharusnya kita perlu berkonsultasi kepada pihak yang lebih paham yaitu dokter ataupun psikiater. Ataupun jika kesehatan mental kita masih dapat ditolerir, maka kita dapat memulihkan mental kita dengan cara-cara yang sederhana sebelum berdampak buruk bagi diri kita.

Oleh:

1. Fadhilla Tsabitah X DKV 2, 2. Arella Gracia Handrianto X AKL 3, 3. Rosita Anggreani X MPLB 2

4. Zahra Khairunnisa X ULP 2, 5. Alifia Adira Bilqis X AKL 1, 6. Aurora Aida Tsabitah X AKL 2

#perpustakaanwijang  #smkn6solo   #wijanglibrary   #literasi   #perpusnas   #p3smptperpusnas #ppukperpusnas

SUMBER

https://ukesma.ukm.ugm.ac.id/2020/08/30/dua-sisi-self-diagnosis

https://www.allianz.co.id/explore/bahaya-bagi-kesehatan-mental-5-tips-hindari-self-diagnosis.html

https://psychology.binus.ac.id/2022/04/08/self-diagnose/